Dari kejauhan tampak gadis berpayung bergegas menuju halte bus ditengah guyuran hujan. Ia terburu-buru karena hujan dari tadi sore masih bersikukuh membasahi kota. Tepat jam 9 malam Karina harus pulang, di rumah ia di tunggu. Mungkin oleh kekasihnya, tapi mungkin oleh orang yang paling ia kasihi. Ah, tak peduli siapa yang menunggu di rumah. Di halte ia membersihkan diri dari air hasil dari langit yang membasahi tubuhnya. Tubuhnya yang kecil itu berusaha menahan dinginnya air hujan pada malam hari. Tak berarti ia lemah, mungkin kerana seharian bekerja ia menjadi lemah. Ah, tapi ini bukan soal pekerjaan. Ini adalah persoalan jam 9 tepat Karina harus pulang. Sudah 6 menit berlalu sejak ia datang di halte itu. Ini soal waktu yang tak mungkin terulang dan tak bisa diajak berbagi. Tapi dengan perasaan yang bercampur aduk dengan waktu, tetap ia tenang menunggu di halte. Bercelana jeans, berjaket tebal membuatnya hangat malam itu. Dengan ruangan yang cukup nyaman, ia bisa bersandar dalam ketenangan malam. Keramaian malam serasa menjadi tampak indah jika dilihat dari dalam halte bus. Kaca tebal membuat bias lampu kendaraan yang disiram air yang turun dari langit. Tapi ini bukan soal tempat, ini soal waktu.
Dari kejauhan datang bus pertama setelah Karina datang. Bus itu berwarna hijau tua dan tampak belum tua. Dengan lampu yang terang bus itu melaju tenang dalam dinginnya malam di tengah guyuran hujan. Dan akhirnya berhenti di halte tempat Karina menunggu tumpangannya. Setelah berhenti bus itu hanya menumpahkan tiga orang. Yang pertama seorang laki-laki gemuk berkacamata, yang kedua turun adalah perempuan tinggi berkerudung hijau. Dan yang terakhir turun seorang laki-laki tua berkumis tebal dan membawa lembaran koran. Bus itu tampak sepi jka dilihat dari luar. Tapi ini bukan soal bus dan penumpangnya, ini hanya soal waktu. Bus itu dibiarkan melaju kembali di tengah lebatnya hujan. Karina tampak bersabar menunggu karena bukan bus hijau yang barusan dibiarkannya yang akan ia naiki. Itu bukan bus yang akan membawanya sampai ke “rumah”.
Setelah bus pertama berlalu ia baru membayar tiket kepada petugas halte, nampaknya petugas halte itu sudah hafal dengan sosok Karina. Petugas itu tampak tersenyum saat karina memberinya uang untuk ongkos naik bus.
“Mau pergi ke mana mbak?” tanya petugas halte.
“Ini saya mau pulang ke rumah” jawabnya.
“Rumah yang mana emang?”
“Hahahahaha..... “ mereka berdua tertawa.
Entah apa yang mereka tertawakan, yang jelas petugas halte tersebut seperti sering bertemu Karina atau mungkin mereka berteman. Tapi ini bukan soal petugas halte bus, ini soal waktu.
Sudah 5 menit berlalu sejak bus pertama melewati halte bus yang Karina tempati. Ia cukup bersabar menunggu bus yang menurutnya tepat agar membawanya ke rumah. Karina duduk pada kursi dengan rok di bawah lutut. Kaki kanannya ditindihkan pada kaki kiri seperti biasa wanita elegan yang duduk di atas kursi kerja. Ia duduk santai sambil mengamati keadaan sekitar yang basah. Tak lama kemudian ia mengeluarkan cermin dari tasnya. Sambil bergumam ia mengambil perabotan kecantikan yang setiap hari ia bawa dalam tasnya. Bedak pipi kirinya luntur akibat percikan air hujan yang turun dengan derasnya. Dengan kapas ia keringkan seluruh wajahnya, dan seterusnya bedak dipoles untuk menutupi celah-celah kulit yang agak mengkerut akibat dinginnya malam itu. Karina selalu memperhatikan penampilan. Ia salah satu wanita yang tak mau terlihat buruk di mata siapapun. Dengan berpenampilan menarik, semua orang pasti senang melihatnya. Itu menjaga dirinya dalam pekerjaan yang ia geluti selama ini. Tapi saat ini bukan soal penampilan yang dipikirkan, ini adalah soal waktu.
Selama 15 menit ia menunggu, akhirnya bus kedua datang bersama hujan yang mulai reda. Bus itu berwarna kuning hijau dan lebih elegan dari bus yang pertama tadi. Sinar lampunya menyilaukan Karina yang tengah duduk santai dalam halte bus. Bus itu berhenti dan menurunkan satu orang saja. Seorang laki-laki muda dan tegap turun dari bus mengenakan kemeja putih berdasi, tampaknya ia sudah selesai bekerja di malam ini. Tulisan 2A terlihat menempel di jendela pinggir pintu depan bus itu. Sepertinya bus ini yang akan membawa Karina pergi ke rumah. Ia beranjak dari kursi yang sudah lama menjadi sandaran saat di halte bus tadi. Karina masuk dan mengambil tempat duduk baris ke tiga dari pintu yang ia masuki. Memilih tempat di pinggir jendela menurutnya lebih baik agar tidak bosan di dalam bus. Ia dapat melihat kepenatan kota saat malam dengan hujan yang mulai reda saat itu. Sepertinya waktu sudah mulai memihak kepadanya.
Dalam bus ia melihat 5 orang yang tampak dengan kesibukannya masing-masing. Supir mengendalikan bus menurut alur arah yang sudah ditentukan. Ada 2 perempuan lain selain dirinya dan 2 laki-laki lagi selain supir. Dua perempuan itu duduk persis di belakang supir. Satu perempuan terlihat sedang membaca buku. Perempuan itu berkacamata dan mengenakan kaos hitam berkerah merah. Lampu di dalam bus itu memang agak terang, memungkinkan penumpang di dalamnya membaca dalam keadaan nyaman. Perempuan kedua mengenakan kerudung putih serta membawa tas hitam yang pernah dilihat Karina di majalah saat di kantor tadi. Paras wajahnya begitu anggun dengan kulit yang tidak begitu hitam cocok dengan kerudung putih yang dikenakannya. Karina memperhatikan kedua wanita itu dengan seksama. Nampaknya mereka mahasiswa, tetapi mungkin terlalu tua pikirnya.
Pria lain selain supir menarik mata Karina untuk meminta diperhatikan. Pria yang duduk sebelah pintu depan mengenakan kacamata hitam menyita sebagian waktu karina untuk beberapa saat menatapnya. Ia berjanggut dan berkumis tipis serta berambut ikal mirip Johnny Depp di film Pirates of Carrebian. Tapi lebih mirip teman pria yang bekerja di hotel dulu, dan sontak ia tak mau memperhatikan pria berkumis tipis itu lagi. Lelaki itu telah membuatnya malu saat di hotelnya dulu. Ahh ini bukan soal lelaki itu, ini soal waktu saja!
Lelaki yang kedua duduk di kursi tengah bagian belakang. Dia sedang menggunakan handphonenya, entah untuk apa. Berjaket hitam tebal dan bercelana jeans. Matanya sipit dan berhidung pesek. Ia mempunyai tahi lalat di dekat hidung persis seperti keponakannya. Kembali Karina teringat keponakannya di desa. Ia sudah lama tak mengunjungi keluarga yang ada di desa. Masa lalunya di desa amatlah manis, di tengah keluarga yang harmonis Karina dibesarkan menjadi sosok wanita yang kuat dan berpendirian. Tapi setelah ia berpindah ke kota, rasa-rasanya kegundahan sering mewarnai pikirannya itu. Entah mengapa keluarganya yang dulu berubah warna menjadi abu-abu dan menjadikan Karina hidup lebih dari sekedar abu-abu, tapi tak berwarna. Segera Karina tersadar dari lamunan yang cukup membuatnya menjadi tak berwarna. Karena ini bukan masa lalu yang harus dikenang, namun masa depan yang telah menanti haruslah dijalani.
Lamunan barusan menjadikan hidup sesaat Karina menjadi suram. Sekedar mengenang kembali masa lalunya, tapi untuk ke depan ia berjanji tak akan lagi kembali mengumpulkan cercahan kenangan itu lagi. Karena masa tak mungkin ditawar tuk kembali. Karina yang sekarang harus menjadi yang sekarang bukan masa lalu ataupun masa depan, mungkin itu pikirnya.
***
Kembali dalam perjalanannya pulang ke rumah, Karina masih duduk seperti penumpang yang lainnya. Seiring bus melaju, Karina lebih menikmati perjalanannya itu. Beberapa halte sudah terlewati, tapi bukan halte-halte yang terlewati itu yang membuatnya turun dari bus berwarna kuning hijau bertuliskan 2A ini. Halte bus yang kelima ini dirasa tepat bagi Karina untuk turun. Bus ini sudah tampak membosankan bagi Karina untuk tetap duduk menunggu. Waktu sudah mempersilahkan Karina tuk pulang ke “rumah”. Bunyi decitan rem terdengar, membuat bus secara perlahan untuk berhenti tepat di halte yang kelima ini. Karina meninggalkan kursi yang cukup membuatnya nyaman dalam bus tadi, dengan pikiran yang agak kacau dia keluar. Turun dari bus, Karina juga segera meninggalkan halte yang kelima itu. Beberapa menit Karina berjalan, ia segera tiba di “rumah”.
Rumah berwarna hijau dengan arsitektur yang cukup modern terlihat di beberapa meter dari tempat Karina berdiri. Tujuannya untuk pulang sekarang lebih jelas terlihat. Terlihat tulisan 8B pada pagar tembok rumah berhalaman luas yang dianggap rumah bagi Karina. Sambil berjalan Karina mengeluarkan ponselnya dan bermain dengan tombol-tombol berangka dan berhuruf lewat jemarinya. Sesampainya di depan pagar nampak seorang lelaki paruh baya keluar rumah hendak menjemput Karina yang pulang.
“Selamat malam Rin.” ujar lelaki itu,
“Malam juga Om” sahut Karina,
“Agak telat kamu malam ini?”
“Maaf Om, soalnya malam ini hujan agak deras. Maklum lah buat perempuan seperti saya ini. Jadi agak repot kalau hujan.”
“Oh, tapi tak apalah. Om senang kamu kembali lagi. Ayo lekas masuk!”
“Oh yaa Om... Nampaknya malam ini akan jadi malam yang keras bagi aku dan om Joni. Tapi yang penting Om senang.”
***
Yogyakarta, 27 Desember 2010
Comments
Post a Comment