Saya sudah lupa caranya menulis. Dengan penakah? Atau dengan pikiran ataupun dengan hati. Pena membuat bercak hitam pada yang putih dan pada semua warna tentunya. Alat tulis ini membuat sayatan yang begitu perih jika dengan ego. Akan tetapi pena seperti berubah menjadi air yang memberi kehidupan pada seluruh makhluk di dunia jika hati yang luluh menggenggamnya. Kini pena tergantung pada situasi dan juga emosi pemiliknya. Itukah menulis?
Pikiran adalah tempat berkumpulnya hasrat dan keinginan manusia. Dalam batas realistisnya manusia memproses tentang apa yang ditemukan, dilihat, didengar dan untuk selanjutnya dipelajari lewat saraf-saraf otak yang begitu rumit. Prosesnya berfikir, memakan korban waktu dan juga tempat sebagai sarananya. Tempat mungkin agak tak terlibat dalam proses ini. Akan tetapi proses berfikir berlaku di segala tempat di penjuru dunia ini. “Tempat” mempengaruhi kerangka dari proses itu sendiri. Ini terbukti dengan adanya kebudayaan yang berbeda di setiap tempat. Bisakah kita menulis dengan pikiran yang memakan tempat dan hasrat manusia yang biasa disebut homo sapiens? Kembali lagi permasalahannya dengan Hasrat. Dan itu adalah egois.
Setiap manusia mempunyai rasa kemanusiaannya sendiri. Mungkin sebenarnya itu berpangkal dari Hati. Hati merupakan gambaran seorang manusia. Efeknya terkadang postif, tetapi juga bisa berbalik negatif. Ego berbalik menjadi sarana terburuk yang pernah ada. Dengan istilah memberi hati semua manusia luluh (jika mereka punya hati). Selama ini hati yang lebih nikmat di sebut jiwa seseorang, juga sudah memakan korban manusia itu sendiri. Kini hati adalah Sarana yang terbaik untuk melakukan hal yang terburuk. Karena Hati adalah Tempatnya “Perbedaan”. Dengan kesendiriannya menulis tanpa pena adalah cacat, tanpa pikiran adalah jebakan, tanpa hati adalah putih.
(catatan ini ditulis atas azas kekeluargaan yang diandasi oleh pikiran)
Pikiran adalah tempat berkumpulnya hasrat dan keinginan manusia. Dalam batas realistisnya manusia memproses tentang apa yang ditemukan, dilihat, didengar dan untuk selanjutnya dipelajari lewat saraf-saraf otak yang begitu rumit. Prosesnya berfikir, memakan korban waktu dan juga tempat sebagai sarananya. Tempat mungkin agak tak terlibat dalam proses ini. Akan tetapi proses berfikir berlaku di segala tempat di penjuru dunia ini. “Tempat” mempengaruhi kerangka dari proses itu sendiri. Ini terbukti dengan adanya kebudayaan yang berbeda di setiap tempat. Bisakah kita menulis dengan pikiran yang memakan tempat dan hasrat manusia yang biasa disebut homo sapiens? Kembali lagi permasalahannya dengan Hasrat. Dan itu adalah egois.
Setiap manusia mempunyai rasa kemanusiaannya sendiri. Mungkin sebenarnya itu berpangkal dari Hati. Hati merupakan gambaran seorang manusia. Efeknya terkadang postif, tetapi juga bisa berbalik negatif. Ego berbalik menjadi sarana terburuk yang pernah ada. Dengan istilah memberi hati semua manusia luluh (jika mereka punya hati). Selama ini hati yang lebih nikmat di sebut jiwa seseorang, juga sudah memakan korban manusia itu sendiri. Kini hati adalah Sarana yang terbaik untuk melakukan hal yang terburuk. Karena Hati adalah Tempatnya “Perbedaan”. Dengan kesendiriannya menulis tanpa pena adalah cacat, tanpa pikiran adalah jebakan, tanpa hati adalah putih.
(catatan ini ditulis atas azas kekeluargaan yang diandasi oleh pikiran)
Comments
Post a Comment