Siapa yang tak kenal novel Siti Nurbaya? Hampir dapat dipastikan setiap orang yang pernah mengenyam pendidikan formal akan tahu dan familiar dengan novel tersebut. Bahkan masyarakat juga mengetahui tokoh-tokohnya, termasuk tokoh antagonis Datuk Maringgih. Tokoh Datuk Maringgih dalam novel Siti Nurbaya digambarkan sebagai tokoh yang buruk, jahat, keji, dan sebagainya. Ia dianggap sebagai rentenir yang menyusahkan banyak orang dan juga predikat-predikat lain yang negatif terhadap Datuk Maringgih tersebut. Bahkan, sampai novel tersebut diangkat ke layar lebar pun, tokoh Datuk Maringgih tetap digambarkan sebagai tokoh antagonis, yaitu tokoh yang cenderung dipersepsikan negatif oleh sebagian besar orang. Pemahaman seperti itu telah berlangsung bertahun-tahun mengendap dalam paradigma setiap orang. Akan tetapi, seiring perkembangan teori sastra, paradigma tentang Datuk Maringgih mulai bergeser.
Perkembangan teori sastra telah mencapai pada tahap teori kontemporer dengan munculnya salah satu teori sastra yang disebut dekonstruksi. Dekonstruksi dipelopori oleh Jacques Derrida. Derrida muncul sebagai seorang pemikir karena ketekunannya membaca dan mempelajari berbagai bidang seperti sains, sosial, etik, politik, estetik, psikoanalisis dan sangat menguasai bidang ilmu sastra. Aliran dekonstruksi ini menurut sebagian besar pakar bidang sastra sangat cocok diaplikasikan pada novel-novel kontemporer. Pada skala dunia sastra di Indonesia, novel-novel kontemporer tersebut seperti karya-karya Danarto. Apabila kita membaca karya-karya Danarto seperti kumpulan cerpen Gergasi kita juga dapat mendekonstruksi unsur intrinsik tidak hanya pada persoalan tokoh. Cerpen-cerpen Danarto dapat juga didekonstruksi terutama menyangkut latar cerita yang tiba-tiba saja berganti dan seolah tidak dapat dirasionalisasi begitu saja. Memang dibutuhkan wawasan lebih apabila kita hendak mendekonstruksi unsur intrinsik sebuah karya sastra selain tokoh
Dekonstruksi
Dekonstruksi identik dengan resepsi sastra. Apabila teks dikaitkan dengan perempuan dan masalah-masalah kolonial, maka dekonstruksi identik dengan feminis dan postkolonial. Apabila teks dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, dekonstruki identik dengan naratologi dan postrukturalis. Dengan demikian postrukturalisme adalah mendekonstruksi kekuatan laten subjek kultural, subjek-subjek hegemonis yang secara terus menerus mengkondisikan situasi marginalitas. ’perempuan ‘ adalah simbol marginalitas yang paling konstan. Perempuan adalah manifestasi hawa ditaman eden, kaum buruh dan tani bagi kelompok marxis, pribumi dalam pandangan kolonial, ekonomi lemah dalam kaitannya dengan proyek kapitalis, novel populer dalam kerangka sastra yang indah (kesusastraaan), pada tradisional dalam era swalayan, dan sebagainya. Pada dasarnya dekostruksi diperhadapkan pada simbol-simbol ‘perempuan’ seperti diatas.
Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences “,di universitas Johns Hopkins tahun 1966.
Secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu gagasan. Kristeva (1980:36-37), misalnya, menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.
Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Dekonstruksi dikembangkan atas dasar pemahaman sepihak tradisi kritik, yaitu yang semata-mata memberikan perhatian terhadap ucapan. Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual.
Derrida (Spivak, 1976:xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah difference dan differance, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang sekaligus berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata differencetersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida menjadi terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme, fonosentrisme, differEnce/ differAnce, trace, dan dencentering.
Differance (Derrida, 2002) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference dan differance, bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.
Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.
Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun sudah tertulis. Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa lisan. Di pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan kebudayaan yang dengan sendirinya sudah tertulis.
Dekonstruksi juga berkembang di Amerika, sebagai aliran yale. Dekonstruksi Amerika, disamping memiliki ciri-ciri tersendiri, sebagai akibat latar belakang sosiokultural. Tokoh-tokoh deonstruksi Amerika diantaranya: Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, dan Harold Bloom.
Paul de Man (Eagleton,1983:145;Selden,1986:96) lahir di Belgia, merupakan seorang Filolog dan kritikus sastra. Paul de Man memandang bahwa semua bahasa bersifat metafora, bahasa sastra mendekonstruksi hakikatnya sendiri. Hillis Miller memusatkan perhatian pada dekonstruksi rekaan Goeffery Hartman memusatkan perhatian pada sastra kontemporer, teks-teks injil, dan kritik kebudayaan. Harold Bloom menggabungkan teori trope atau bahasa kias, psikologi Freut dan teks injil.
Perbedaan antara pembaca non dekonstruksi dan dekonstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembaca non dekonstruksi atau pembaca konvensional dilakukan dengan cara menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal. Sebaliknya, pembaca dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan adalah pembongkaran secara terus menerus, sebagai proses. Dekonstruksi dilakukan dengan cara pemberian perhatian terhadap gejala-gelaja yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dan sebagainya.
Dalam dekonstruksi, pembacaan tak harus dimulai dari awal, ia bisa dimulai dari mana saja. Bahkan Derrida memulai dari sebuah catatan kaki. Dari pembacaan didapati beberapa unit wacana yang mengalami kebuntuan.
Implementasi Dekonstruksi dalam Novel Sitti Nurbaya
Sebagai contoh pembicaraan, berikut akan disinggung sedikit penerapannya dalam penelitian sastra, yang masih tergolong penelitian budaya. Seperti pendekonstruksian dalam Roman Siti Nurbaya. Pada umumnya para penikmat sastra beranggapan bahwa Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih, di pihak lain merupakan tokoh antagonis yang serba jahat, tokoh hitam. Melalui dekonstruksi, keadaan itu justru akan terbalik.
Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasional sempit. Hanya kegagalan cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya: putus asa dan bunuh diri. Hal itu menunjukkan bahwa secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan untuk masuk serdadu kompeni. Belakangan, ketika di daerah Sumatera Barat, yang merupakan tanah kelahirannya, terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang menjadi biang keladi kegagalan cintanya. Apapun alasannya, hal itu berarti bahwa ia menerangi bangsanya sendiri dan justru berdiri di pihak sana membela kepentingan penjajah.
Dilihat dari teori dekonstruksi Jausz, yaitu yang mempertimbangkan aspek historis yang berwujud “sejarah” tanggapan pembaca dari masa ke masa, perbuatan Samsul Bahri tersebut justru dapat ditanggapi sebagai perbuatan pengkhianat bangsa. Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata didorong oleh motivasi pribadi. Ia sama sekali bukan seorang pahlawan, bahkan untuk pahlawan cinta sekalipun.
Datuk Maringgih, di pihak lain, walau ia diakui banyak orang sebagai tokoh jahat, bandot tua yang doyan perempuan, justru dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdimensi baik. dialah yang menjadi salah seorang tokoh yang menggerakkan pemberontakan terhadap penjajah Belanda itu, walau hal itu juga dilatarbelakangi motivasi pribadi (agar terbebas dari pajak besar. Apapun motivasinya, dia menjadi tokoh pemberontak. Artinya, dia adalah tokoh pejuang bangsa, yang seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengenyakan penjajah dari bumi Indonesia. dengan demikian, justru dialah yang “berhak” disebut pahlawan dan bukannya Samsul Bahri.
Ahmad Maulana dan Alimah, dalam novel Siti Nurbaya itu, hanya merupakan tokoh pinggiran yang umumnya dianggap kurang penting. Namun jika dipahami betul pesan-pesan penting yang ingin disampaikan lewat lewat novel itu, akan terlihat bahwa kedua tokoh itu sebenarnya amat berperan. Dalam perbincangannya dengan Nurbaya, Maulana inilah yang mengungkapkan kejelekan-kejelekan perkawinan poligami yang sebenarnya lebih banyak menyengsarakan wanita dan anak-anaknya. Sikap dan pandangan hidup Nurbaya, sebenarnya, banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup kedua tokoh tersebut.
Daftar Pustaka
Al-Fayyadl, Muhammad. 2011. Derrida. Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang..
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eagleton,Terry. 2011. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jala Sutra.
Comments
Post a Comment