irniirmayani.files.wordpress.com |
Fajar mulai menyingsing ketika ibu sudah menyiapkan wedang hangat untuk kami, dua gelas kopi hitam. Beliau juga membawa beberapa cemilan agar perut kami tak kelaparan karena tak sempat sarapan. Di keluarga kami, atau di indonesia pada umumnya makan adalah sah jika terdapat nasi. Maka dari itu kopi dan cemilan bukanlah sarapan, akan tetapi hanya kudapan. Ibu memang wanita yang sangat sederhana. Setiap hari sebelum berangkat shalat subuh di masjid ibu sudah menanak nasi. Akan tetapi hari ini beliau tidak menanak nasi seperti biasanya. Ibu sudah tau, aku bersama bapak akan pergi ke kabupaten untuk menuntaskan beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan pensiun Bapak. Karena jarak dari desa ke ibukota kabupaten cukup jauh, kami pun harus berangkat setelah shalat subuh.
Perjalanan akan kami tempuh dengan mobil sederhana yang kami miliki. Setelah punya cucu, bapak baru bisa membeli mobil yang cukup layak untuk berkunjung dan membawa keluarga pelesir. Untuk berkunjung dan membawa cucu bapak bisa merelakan beberapa lahan kebun untuk membeli mobil. Mungkin setiap orang tua akan seperti itu, tergantung keuangan keluarga tentunya. Tetapi, pada dasarnya setiap orang tua akan begitu antusias jika hal tersebut mengenai Cucunya.
Bapak memang sangat suka bercerita. Sejak aku kecil cerita bapakku sudah menggema di telinga sesaat sebelum tidur. Entah itu cerita rakyat ataupun pengalaman pribadi dan orang lain yang menarik bagi bapak akan diceritakannya. Hal itu pun yang membuatku ingin ikut menemani bapak ke kabupaten. Aku ingin mendengar cerita di sepanjang perjalanan.
“Jika kita berangkat jam 5 pagi ini, mungkin kita akan sampai jam setengah 8 di kantor bupati” bapak mengawali obrolan.
“Untuk sekarang waktu memang terasa lebih cepat, dua jam perjalanan masih terasa lama di zaman semaju ini” jawabku.
“Tapi zamanmu sudah enak, mobil sudah banyak. Angkutan umum bisa ditemukan dimanapun. Ketika bapak kecil dulu, bapak bisa seharian jalan kaki hanya untuk ke Bumiayu. Berangkat selepas subuh sampai di desa bantarkawung jam 10. Lalu naik “Power” ke bumiayu dua jam. Orang-orang membeli kebutuhan pribadi dan dagangannya disana, karena pasar terdekat yang masih satu kabupaten adalah kecamatan tersebut. Lalu kembali ke salem, pokoknya sampai di rumah jam 9 malam”
“ Jadi rombongan setiap kali bepergian pak?”
“Tentu, bapak dan rombongan berjalan melawati hutan yang masih lebat dan banyak sekali hewan liar. Dulu bapak masih bisa bertemu kera-kera, kijang, terkadang juga bertemu dengan ular yang sangat besar atau jejak maung. Pernah ada rombongan yang pernah bertemu dengan maung melintas bersama satu ekor anaknya, mereka sangat ketakutan. Tapi tak ada penyerangan. Lantas orang-orang desa heboh sampai terdengar oleh mang Karta. Ia berangkat ke dalam hutan untuk memburunya. Hampir seminggu ia tak pulang. Istrinya menangis tak karuan karena kenekatannya itu. hari ke sembilan ia kembali dengan tubuh penuh luka cakar. Pistolnya macet ketika hendak menembak dan ia harus siap menerima dengan telak serangan dari maung tersebut.”
“lalu apa yang terjadi selama sembilan hari tersebut?”
“Mang Karta bercerita bahwa ia melawan maung dengan pisau dan tombak yang sudah dipersiapkan. Ia sudah berhasil menancapkan pisaunya di perut hewan itu. Tapi maung tersebut bisa pergi dan meninggalkan mang Karta. Luka mang karta cukup serius, tulang betisnya patah karena terjatuh di lereng yang cukup dalam. Luka cakar di bahu sebelah kiri, beruntung ia masih hidup. Tiga hari ia melacak keberadaan hewan buas itu, tujuh hari ia dirawat di desa Cibirus hingga ia bisa berjalan pulang.”
Pikirku hebat sekali orang-orang dulu. Bisa beradu dengan hewan buas seperti mang Karta layaknya Tarzan yang sering ku tonton saat masa kecil. Memang ketika kecil bapak sering mengajaku pergi ketempat kakek. Sepanjang perajalanan hanyalah hutan belantara, dan ada beberapa desa terlewati. Sering terlihat beberapa Kera turun ke jalan, atau babi hutan yang melintas. Tapi sejak aku menjadi siswa SMP, sudah tidak kutemui hal seperti itu.
“Sudah jarang sekali aku melihat kera dan rusa di jalan. Kemana mereka pergi pak?”
“Mungkin sudah berpindah ke tempat yang lebih layak menurut mereka. Tempat yang jauh dari kebisingan dan mempunyai makanan. Tapi jika kau ingin melihat rusa di hutan langsung, pergi saja ke hutan maribaya. Disana biasa terlihat beberapa ekor rusa.”
“Benarkah ? kok bisa masih ada rusa disana?”
“Mungkin kerena tersedia makanan yang mereka butuhkan. Hutan disana juga cukup terjaga. Karena Orang-orang di sekitar mengkramatkan hutan tersebut. Di desa tempat ibumu itu orang tidak boleh makan daging rusa.”
“Pantas saja ibu menolak ketika ditawari memakan daging rusa sepulang bapak dari palembang. Tapi kenapa bisa seperti itu?”
“Banyak cerita yang bapak dengar. Salah satunya nenekmu pernah bilang masyarakat asli desa Pengarasan dilarang makan daging rusa karena dahulu pernah ditemukan bayi di hutan Maribaya bersama segerombolan rusa. Bayi tersebut kemudian di asuh oleh orang tua di pinggiran desa. Setelah dewasa ia beranak pinak dan membentuk desa tersebut.”
“Sangat menarik sekali, tapi aku tak pernah mendengar hal tersebut dari teman-temanku atau orang lain. Padahal banyak temanku yang berasal dari desa tersebut.”
“Sekarang mitos tersebut perlahan tergerus bersama pemikiran-pemikiran baru yang katanya lebih bisa diterima logika tanpa memperhatikan estetika. Namun muncul mitos baru, yang berkembang masyarakat di sana. Hutan Maribaya memang sangat keramat, sekarang orang-orang lebih percaya hutan itu keramat dari pada dilarang memakan daging rusa. Orang sekarang bisa makan daging rusa tetapi bukan rusa dari hutan tersebut.”
”Jika mitos tersebut, akupun pernah mendengarnya. Seperti cerita mang Jamil yang mengambil buah nangka dari hutan tersebut, ketika pulang ia jatuh di selokan. Kakinya patah dan sampai sekarang tak bisa berjalan. Katanya itu tulah mengambil hasil hutan disana.”
“Ya, memang hutan tersebut di anggap angker karena beberapa kejadian ganjil. Ada pula cerita tentang kang Daud yang mati tersengat lebah ganas. Ia di temukan sehari setelah meninggal. Desas-desusnya kang daud berselingkuh dengan wanita desa tetangga. Karena takut ketahuan masyarakat desa ia mengambil jalan pulang lewat hutan tersebut. Entah nasib sial seperti apa yang dialami almarhum disana hingga ia bisa tersegat lebah.”
“Sudah ada yang bercerita mengapa hutan tersebut angker?”
“Bapak mendengar beberapa kisah mengenai hutan tersebut. Disamping memang keramat karena pendiri desa berasal dari hutan tersebut, ada juga yang menyebut hutan tersebut di pagar secara gaib oleh orang-orang dimasa perjuangan”
“Apakah orang-orang dahulu sesakti itu pak?”
“Bapak belum tahu kebenarannya, karena tak mengerti secara langsung. Bapak pernah mendengar seorang kakek bercerita tentang perjuangan DI/TII di daerah kecamatan kita. Tentara dari kubu DI bergeriliya dari Jawa barat hingga desa kita. Mereka bersembunyi di hutan maribaya dan memagar hutan tersebut. Celakanya, hutan tersebut masih terpagar hingga orang pasukan tersebut tertangkap dan menghilang entah kemana. Pantas saja kejadian-kejadian yang ganjil tersebut berhubungan dengan karma atau sebab akibat yang dilakukan di kehidupan.”
“Berarti desa kita masuk sebagian sejarah besar indonesia?”
“Seluruh desa di Indonesia mempunyai sejarahnya masing-masing. Dulu juga pernah ada orang yang bercerita pasukan Jendral Sudirman melintasi desa Pengarasan bahkan mampir beberapa hari disana. Mereka Bergerilya dari jawa barat hingga jogja lalu ketimur, atau mungkin sebaliknya bapak kurang tahu. Yang jelas mereka bergerilya.”
Sudah setengah perjalanan di tempuh mobil kami. Matahari sudah mulai terlihat dan jalanan mulai ramai dengan lalu lintasnya. Para petani, pekerja kantor, pedagang, orang tua dan anak-anak semua sibuk dengan rutinitasnya. Mobil kami terus berjalan maju. Tapi arah ingatan kami berjalan mundur. Aku ingat ketika kecil dulu sering bepergian menggunakan motor bersama bapak dan ibu ke ibukota kabupaten. Aku selalu mengamuk jika terus duduk di tengah diapit kedua orang tuaku. Yang aku inginkan duduk di depan dan melihat pemandangan sepanjang jalan. Tapi ibuku selalu melarangku, takut jika anaknya terkena masuk angin.
bugisartgallery.files.wordpresss.com |
Mendengar rengekanku bapak menawarkan sesuatu hal yang merubah segalanya menjadi kenangan indah. Bapak menyuruhku untuk berdiri di tengah, tentunya dengan pegangan erat ibuku. Sawah begitu hijau kala itu, ketika ku berdiri aku dapat merasakan desir angin, gemericik air, suara gilingan padi, burung-burung dan pemandangan yang indah. Kali Pemali begitu indah dengan matahari diatasnya, siluet rumah produksi batu bata dengan asap yang membungbung tinggi merubah pemandangan hijau sawah menjadi kilau keemasan. Kenangan membawamu pikiranmu kembali ke masa lampau walau kita akan terus bergerak ke masa depan, entah itu baik ataupun buruk. Kenangan tersebut akan membekas lekat dengan hati dan jiwamu.
Begitupun bapak, sembari memegang kendali mobil, pikirannya hilang entah kemana. Perubahan mimik mukanya yang mulai keriput menandakan bahwa beliau sedang melamun. Akupun menyadarkannya.
“Kenapa pak?”
“eh, ngga. Bapak teringat dulu saat ibu mengandungmu. Bapak hampir tenggelam di selokan ini.”
“Selokan ini memanfaatkan aliran sungai Pemali kan pak? Sudah sejak kapan selokan ini ada?”
“Walah, sebelum bapak lahir pun selokan ini sudah ada. Ceritanya ini di bangun untuk mengairi sawah area brebes utara. Ada 5 kecamatan kalau tidak salah. Banyak juga hasil bumi disini. Ada padi, jagung, tebu, dan bawang. Kata kakekmu, dulu tanaman tebu yang menjadi primadona disini. Di bawa langsung ke Belanda sana. Orang pribumi sendiri lebih senang pemanis dengan gula jawa atau gula aren.”
“Bagaimana dengan Bawang? Bukankah sekarang kabupaten lebih terkenal dengan bawangnya?”
“Tentu ada, tapi tak sebanyak tebu. Bawang mulai terasa baunya saat pendudukan jepang.”
“Oh ya, katanya bapak pernah hampir tenggelam di selokan ini? Apa yang terjadi?”
“Saat itu bapak bersama mang fatah pergi ke kabupaten untuk mengurusi beberapa hal menggunakan motor. Bapak ada rapat bersama bupati, mang Fatah hendak membuat SIM. Di sekitar sini, ada mobil berisikan satu keluarga. Nampaknya mereka hendak kondangan. Entah ada angin apa, tiba-tiba mobil tersebut terperosok jatuh ke selokan. Dan itu terjadi di depan motor bapak. Suasana jalanan sepi kala itu. Bapak langsung nyemplung ke dalam selokan sedang mang Fatah pergi untuk meminta pertolongan orang lain. Satu orang bisa bapak selamatkan. Ternyata selokan ini sangat dalam dan berarus kencang. Saat hendak menyelamatkan orang kedua, ada kayu yang menghantam kepala. Nafas menjadi tak karuan dan hilang keseimbangan. Beruntung mang fatah datang tepat waktu menolong Bapak. Ia membawa 4 orang untuk menolong orang-orang di dalam mobil naas itu.”
“berapa orang yang selamat pak?”
“Ada tiga orang yang selamat, satu perempuan, dua laki-laki. Sedangkan lima orang meninggal. Pintu depan mobil tersebut bisa terbuka, namun pintu belakang nampaknya rusak dan terkunci. Kejadian tersebut sangat tragis, ternyata yang berhasil diselamatkan adalah sepasang suami istri dan sang supir. Dua anak mereka bersama kakek-nenek serta pamannya tidak tertolong. Pengalaman tersebut sangat membekas di pikiran bapak sampai saat ini.”
“Mungkin itu sudah takdir mereka pak. Setidaknya bapak sudah berusaha untuk menyelamatkan. Tapi tuhanlah yang mengatur segalanya.”
“Kenapa pak?”
“eh, ngga. Bapak teringat dulu saat ibu mengandungmu. Bapak hampir tenggelam di selokan ini.”
“Selokan ini memanfaatkan aliran sungai Pemali kan pak? Sudah sejak kapan selokan ini ada?”
“Walah, sebelum bapak lahir pun selokan ini sudah ada. Ceritanya ini di bangun untuk mengairi sawah area brebes utara. Ada 5 kecamatan kalau tidak salah. Banyak juga hasil bumi disini. Ada padi, jagung, tebu, dan bawang. Kata kakekmu, dulu tanaman tebu yang menjadi primadona disini. Di bawa langsung ke Belanda sana. Orang pribumi sendiri lebih senang pemanis dengan gula jawa atau gula aren.”
“Bagaimana dengan Bawang? Bukankah sekarang kabupaten lebih terkenal dengan bawangnya?”
“Tentu ada, tapi tak sebanyak tebu. Bawang mulai terasa baunya saat pendudukan jepang.”
“Oh ya, katanya bapak pernah hampir tenggelam di selokan ini? Apa yang terjadi?”
“Saat itu bapak bersama mang fatah pergi ke kabupaten untuk mengurusi beberapa hal menggunakan motor. Bapak ada rapat bersama bupati, mang Fatah hendak membuat SIM. Di sekitar sini, ada mobil berisikan satu keluarga. Nampaknya mereka hendak kondangan. Entah ada angin apa, tiba-tiba mobil tersebut terperosok jatuh ke selokan. Dan itu terjadi di depan motor bapak. Suasana jalanan sepi kala itu. Bapak langsung nyemplung ke dalam selokan sedang mang Fatah pergi untuk meminta pertolongan orang lain. Satu orang bisa bapak selamatkan. Ternyata selokan ini sangat dalam dan berarus kencang. Saat hendak menyelamatkan orang kedua, ada kayu yang menghantam kepala. Nafas menjadi tak karuan dan hilang keseimbangan. Beruntung mang fatah datang tepat waktu menolong Bapak. Ia membawa 4 orang untuk menolong orang-orang di dalam mobil naas itu.”
“berapa orang yang selamat pak?”
“Ada tiga orang yang selamat, satu perempuan, dua laki-laki. Sedangkan lima orang meninggal. Pintu depan mobil tersebut bisa terbuka, namun pintu belakang nampaknya rusak dan terkunci. Kejadian tersebut sangat tragis, ternyata yang berhasil diselamatkan adalah sepasang suami istri dan sang supir. Dua anak mereka bersama kakek-nenek serta pamannya tidak tertolong. Pengalaman tersebut sangat membekas di pikiran bapak sampai saat ini.”
“Mungkin itu sudah takdir mereka pak. Setidaknya bapak sudah berusaha untuk menyelamatkan. Tapi tuhanlah yang mengatur segalanya.”
Setelah bapak bercerita tentang mobil malang tersebut, bapak terdiam. Sorot matanya mulai berkaca-kaca. Nampaknya ada rasa bersalah dan sedih yang bercampur. Aku bisa merasakan kejadian tersebut saat bapak bercerita. Pandanganku kini tertuju pada aliran selokan yang tenang. Mungkin sesuai dengan pribahasa orang dahulu, air beriak tanda tak dalam. Aku sejenak memikirkan masa tuaku yang hampir tak terlihat. Apakah akan ada kenangan yang dapat diceritakan pada anakku kelak. Cerita-cerita yang menarik, yang dapat mencairkan segala waktu yang sesungguhnya cair. Waktu memang akan terus berjalan, tapi kenangan akan tetap mengalir, layaknya aliran sungai ini tak terputus dari hulu ke hilir. Ikan ikan akan tetap dapat berenang ke hulu.
Waktu sudah menandakan hampir jam setengah delapan. Perjalananpun hampir sampai di tujuan. Hanya tujuan sementara, karena sesungguhnya perjalanan pergi adalah untuk kembali. Kami memakirkan mobil di kantor bupati. Bapak berpesan agar tak pergi jauh dari sekitar mobil. Mungkin akan memakan rasa bosan jika terus menunggu. Aku putuskan saja untuk pergi ke warung kopi yang ada di seberang jalan. Bertemu dengan orang-orang yang sejenak beristirahat di panasnya jalur pantura. Bercerita kembali, menceritakan kisah-kisah bapak yang kudengar tadi. Sambil menunggu bapak kembali.
Comments
Post a Comment